twitter
rss



Suatu hari datang seorang ibu berkonsultasi mengenai anak lelakinya yang berusia 3 tahun yang belum bisa berbicara. Sang ibu mengatakan, sejak usia 1 tahun anaknya sudah diberikan gadget untuk bermain game atau nonton youtube. Setelah dilakukan asessment, kemampuan bahasa bicara anak tersebut setara dengan anak usia 6 bulan. Sang ibu disarankan untuk menterapi anaknya dan harus menghentikan kebiasaan bermain gadgetnya. Namun sang ibu menolak, dengan alasan anaknya hanya bisa diam jika diberi gadget. Tahukah anda bahaya gadget untuk anak-anak? Ternyata gadget pun merupakan salah satu penyebab terjadinya keterlambatan bicara.
Seorang spesialis jiwa anak dan remaja, dr. Gitayanti Hadisukanto, Sp.KJ(K) mengungkapkan bahwa pemberian gadget di bawah usia lima tahun akan mengurangi rangsangan pada interaksi sosialnya. Ini karena gadget tidak butuh respon anak, sehingga sulit untuk berinteraksi dan hal ini berdampak pada proses bicaranya.
Penelitian Catherine Birken (seorang dokter anak di Hospital for Sick Children in Toronto Kanada) di Pediatric Academic Societies Meeting di San Francisco menemukan adanya hubungan antara penggunaan gadget dengan kemampuan bicara pada anak.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa setiap tambahan 30 menit waktu yang digunakan untuk bermain gadget dapat meningkatkan risiko terlambat bicara atau speech delay hingga 49 persen. Keterlambatan untuk mulai berbicara dapat membawa dampak lainnya. Jenny Radesky, seorang ahli dari University of Michigan Amerika Serikat, berpendapat bahwa ketika anak-anak tidak mampu mengekspresikan rasa frustasinya lewat kata-kata, mereka akan cenderung menggunakan gerakan tubuhnya atau suara lantang untuk menarik perhatian. Dengan kata lain, anak-anak akan terlihat tidak mampu mengontrol emosi.
Selain itu, keterlambatan berbicara bisa memengaruhi kemampuan akademis anak di sekolah nantinya. Kemampuan dalam memahami teks dan merangkai kata bukan hanya penting dalam pelajaran bahasa saja, namun bisa pada pelajaran lainnya seperti sains, matematika, seni, dan ilmu sosial.
(AS/TCAP/VIII/18)



          Tentu anda akan merasa aneh dengan judul artikel ini. Kok bisa orang tua “takut sama anaknya”, bukankah orang tua lebih punya power dibandingkan anaknya? Iya.. memang seharusnya seperti itu. Tapi tanpa sadar inilah fenomena yang nyata terjadi pada jaman modern ini. Banyak sekali orang tua yang selalu menuruti keinginan anak-anaknya dengan dalih kasih sayang, banyak sekali orang tua yang tidak mau anaknya kecewa, yang takut anaknya marah jika tidak di turuti keinginan sang anak. Contoh kecilnya saat anak anda meminta handphone anda untuk bermain game, apakah anda berani menolaknya? Tentu saja tidak, lagi-lagi dengan alasan agar anak tidak menangis atau agar tidak marah maka anda rela memberikan handphone tersebut kepada anak anda. Banyak kejadian lainnya yang mungkin anda mulai merasakan dan menyadari bahwa memang benar anda selama ini “takut sama anak”. Dalih kasih sayang terlalu klise. Sebetulnya ini hanyalah bentuk rasa bersalah dari para orang tua yang bekerja dan jarang bisa bercengkrama dengan anaknya atau memang tidak mau direpotkan oleh anak.
Dengan melihat kejadiannya ini, bisa dipastikan model pola asuh yang diterapkan oleh orang tua tersebut adalah pola asuh permisif. Apa itu pola asuh permisif ? Apa saja dampaknya untuk anak ? Apa ciri-ciri pola asuh permisif ?
Pola asuh permisif adalah Pola asuh yang memberikan kebebasan secara berlebihan kepada anak. Orang tua cenderung tidak melarang dan tidak mewajibkan apapun. Pola asuh permisif ini anak lah yang menjadi kontrol dalam keluarga. Orangtua hanya bertindak sebagai “polisi” yang mengawasi, menegur, dan mungkin memarahi. Orang tua tidak biasa bergaul dengan anak, hubungan tidak akrab dan merasa bahwa anak harus tahu sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Dampak pola asuh permisif biasanya anak akan tumbuh menjadi remaja yang tidak terkontrol. Anak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan bebas yang pada akhirnya merugikan pihak anak dan orang tua. Dampak lainnya pola asuh ini juga akan membuat anak memiliki kemampuan komunikasi yang buruk.
Adapun ciri khas dari pola asuh permisif ini, yaitu:
1.      1. Fokus pada Keinginan Anak
Pola asuh ini lahir karena rasa kasih sayang yang berlebih dari orang tua kepada anak. Orang tua akan selalu mengabulkan keinginan anak, demi melihat anaknya senang. Sekalipun sebenarnya orang tua berada dalam keterbatasan, orang tua akan berusaha keras mewujudkan keinginan anaknya. 
2.     2. Anak sebagai Raja (Pemanjaan)
Cara pandang orang tua terhadap anaknya pada pola asuh permisif menganggap anak sebagai raja. Anak akan selalu dilayani, walau sebenarnya anak mampu melakukan hal itu sendiri. Kenapa? Karena orang tua tidak tega melihat anaknya bersusah payah. Misalnya, anak usia SD yang sebenarnya sudah bisa makan sendiri, tapi dalam keseharian selalu disuapi. Atau anak yang sebenarnya mampu mengambil barang keperluannya sendiri (seperti mengambil bajunya sendiri di lemari baju), tapi selalu diambilkan oleh orang tua.
Saat anak merasakan emosi sedih, kecewa, atau marah, orang tua langsung mengalihkan emosi anak. Orang tua rela mengabulkan keinginan anaknya, demi melihat tangisannya berhenti. Anak harus selalu happy, tak boleh sedih hati. Pemanjaan bisa juga berarti, orang tua memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan kebutuhan anak. Contohnya, yang sering kita saksikan di jalan raya, yaitu anak di bawah umur yang diberikan kebebasan mengendarai sepeda motor oleh orang tuanya. Padahal anak di bawah umur (usia SD misalnya) sangat berpotensi/rentan terjadinya kecelakaan yang tinggi, karena kemampuan mengendarai yang belum mahir ataupun belum matangnya emosi anak menghadapi situasi di jalanan.
3.     3. Komunikasi Tidak Efektif
Kurangnya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. Orang tua mendengarkan pendapat anak, tapi tidak tahu bagaimana cara tepat menyampaikan pendapatnya ke anak. Anak jarang diajak berdiskusi dan bertukar pikiran oleh orang tua. Orang tua tidak paham atau bahkan enggan memberikan arahan positif untuk anaknya. Sehingga, seringnya komunikasi yang ada hanya searah, dari jalur anak ke orang tua saja.
4.     4. Tidak Adanya Peraturan.
Anak dibiarkan bertindak sesuka hati. Orang tua tidak memberikan batasan dan aturan kepada anak. Tidak adanya konsekuensi dari perilaku negatif anak. Sekalinya orang tua mencoba memberikan sedikit batasan kepada anak, orang tua akan luluh melihat anaknya yang sedih atau bahkan mengamuk karena di atur. Tidak tahu bagaimana cara menolak keinginan anak dengan tepat, akhirnya seluruh keinginan anak akan dipenuhi oleh orang tua, demi melihat senyum tersungging lagi di bibir anak yang dikasihinya. Alih-alih mendisiplinkan anak, justru kendali anak lah yang lebih besar di banding kendali orang tua.

Jadi, demi perkembangan anak sebaiknya mulai sekarang anda tidak perlu lagi “takut sama anak”.  

(AS/TCAP/VIII/18)


          Tak bisa dipungkiri, sekolah, guru, dan fasilitas-fasilitas lain seperti les memberi  sumbangan besar bagi kualitas pendidikan anak, waktu yang tersedia di sekolahpun lebih lama (khususnya bagi yang full day scholl), namun tetap peran orang tua yang menentukan apakah usaha sekolah berhasil atau   tidak. Dukungan orang tua kepada anak dalam seluruh rangkaian proses dia menjalani pendidikan adalah faktor penentu kenyamanan dan  kesiapan  dia  memasuki seluruh proses pendidikan.

       Dalam mendidik anak banyak hal yang bisa dilakukan. Anak sebenarnya bisa belajar sendiri dan memilih apa yang akan dipelajarinya. Konsep belajar anak yang baik adalah bukan  dengan  membiarkan  anak belajar sendiri  dan membiarkan  anak melakukan  apa  saja.  Termasuk melakukan  hal  yang  tidak  berhubungan dengan belajar karena  anak  tidak  ada pengawasan oleh orang tuanya (Sinaga, H. J., Lusmilasari, L., & Haryanti, F., 2004).
Untuk   membantu   proses   tumbuh kembangnya agar optimal, menemani anak belajar adalah hal yang sebaiknya dilakukan oleh para orang tua.  Tidak perlu seharian kalau   memang   tidak   ada   waktu, yang terpenting   adalah   orang   tua ikut belajar bersama anak meskipun hanya 1 hingga 2 jam. Berikan perhatian  dan jangan biarkan anak belajar sendiri terus tanpa didampingi oleh orang tua apakah ayah ataupun ibunya. Simsek, Z., Erol, N., Östop, D., & Özcan, Ö. Ö. (2008) menyatakan menemani anak belajar ternyata  memiliki  banyak manfaat yang bisa dirasakan anak. Berikut adalah beberapa manfaat menemani anak belajar :
a.    Anak akan  merasa  diperhatikan  dan dekat dengan      orang tua.
Menemani anak  belajar maka akan membangun   kedekatan  dengan anak sehingga sisi emosional anak akan bisa terasah dan tersalurkan. Si anak juga akan bisa mengexpresikan segala tingkah lakunya dengan segala apa yang dipelajarinya sehingga si anak tidak akan mudah untuk mencari perhatian orang tuanya dengan melakukan hal-hal negative.

b.    Meningkatkan hubungan anak dengan teman sebayanya.
Keterlibatan orangtua dengan menemani anaknya belajar maka akan membantu anak untuk bisa berkomunikasi lebih baik lagi. Baik itu komunikasi dengan orangtuanya sendiri ataupun komunikasi dengan apa yang ia pelajari. Dengan kita ikut menemani anak belajar maka akan merangsang kepekaan anak.
c.     Menambah wawasan anak.
Dengan keterlibatan orangtua menemani anak belajar, orang tua akan menyadari apa saja yang di butuhkan oleh anak. Ketika orangtua peka maka kemudian akan menyediakan kebutuhan belajar anak. Sehingga anak akan tambah pengetahuannya karena ada orangtua yang menemaninya. Selain itu dengan orangtua menemani anak belajar maka si orang tua akan mengajarkan kepada anak cara belajar yang benar. Hal inilah yang akan diingat anak sehingga akan menambah khasanah keilmuan anak.
d.    Anak mendapat persetujuan.
Ketika orangtua ikut belajar maka si anak berpikir bahwa dirinya diperbolehkan untuk belajar. Anak akan mengangggap bahwa kegiatan yang dilakukannya adalah kegiatan yang bermanfaat dan berguna sehingga si anak tambah semangat lagi untuk belajar.

       Bagi beberapa orangtua menemani anak belajar adalah hal yang membosankan dan tidak menyenangkan. Ada juga karena orangtua tersebut memang sibuk mencari uang sehingga seakan-akan tidak ada waktu untuk anak. Melihat banyak manfaat yang dirasakan oleh si anak maka sebaiknya para orangtua meluangkan waktunya sejenak untuk ikut belajar dengan si anak. Perlu diingat bahwa sebagian besar waktu anak adalah di gunakan untuk belajar dan bermain. Oleh sebab itu menemani anak belajar adalah bentuk wujud dan kepedulian dan keberhasilan orangtua dalam pendidikan anaknya.

*dari berbagai sumber
(as/tcap/I/18)