twitter
rss


Perilaku kanak-kanak sangat memengaruhi kepribadian seseorang saat dewasa. Ketika anak gemar melakukan kekerasan, suka menggunakan kata-kata manis untuk mendapatkan keinginannya tetapi berlaku kasar saat tak tercapai, orangtua perlu waspada. Itu adalah sebagian gejala perilaku gangguan kepribadian dissosial atau psikopati.

Gangguan kepribadian dissosial (GKDS) atau antisocial personality disorder adalah terminologi baru untuk gangguan psikopati. ”Gejala gangguan ini bisa muncul sejak anak berumur kurang dari lima tahun,” kata Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti, di Jakarta, Rabu (2/7).

Gangguan kepribadian itu dipicu adanya perbedaan besar antara perilaku seseorang dan norma yang berlaku. Penderita GKDS tak peduli dengan aturan atau kewajiban sosial. Perilakunya tak bertanggung jawab dan cenderung menyalahkan orang lain.

Mereka juga mudah frustrasi, gampang melakukan kekerasan, tak punya rasa bersalah, dan tak mampu mengambil pelajaran, bahkan dari hukuman. Akibatnya, ia bisa melakukan hal kejam berulang-ulang.

Orang dengan GKDS juga tak bisa berempati, tak peduli perasaan orang lain, dan hati nuraninya hampir mati. Mereka adalah pribadi yang amat egosentris dan emosinya dangkal. Akibatnya, ia tak mampu memelihara hubungan yang langgeng meski sebenarnya tak sulit melakukannya.

Psikiater konsultan di RSUD Dr Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, mengatakan, penampilan fisik penderita GKDS atau psikopat sama seperti orang pada umumnya. Namun, perilaku dan cara berpikirnya amat kaku.

”Kaku dengan teguh pendirian atau berprinsip itu dua hal berbeda,” katanya. Orang yang berprinsip tetap bisa luwes dan menerima masukan orang lain. Adapun orang yang kaku sulit menerima dan menghargai perbedaan.

Dari gejala GKDS itu, perilaku yang mudah dilihat pada anak yang berpotensi mengalami gangguan ini antara lain suka melakukan hal berbahaya, senang melanggar hak orang, atau ketika minta maaf tak tulus. Mereka juga suka menyiksa atau membunuh binatang dengan kejam, merusak perabotan, atau membakar barang.

Mereka juga gemar melakukan kebohongan manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pribadi serta impulsif atau bertindak menurut gerak hati tanpa pikir panjang.

Meski gejalanya muncul sejak kanak-kanak, diagnosis gangguan itu baru bisa ditegakkan saat seseorang telah berusia 18 tahun. ”Orang yang menunjukkan perilaku GKDS tak bisa langsung dicap sebagai psikopat,” kata Nalini. Butuh diagnosis khusus dan pengamatan jangka panjang penderita.

Mendiagnosis penderita GKDS juga bukan perkara mudah. Penderita umumnya manis tutur katanya, pintar bicara dan persuasif tetapi manipulatif. Mereka biasanya memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. ”Psikiater atau psikolog harus ekstra hati-hati karena bisa justru menjadi korban manipulasi mereka,” ujarnya.

Multifaktor

Munculnya gangguan itu dipicu banyak faktor. Salah satunya adalah persoalan genetika yang diturunkan atau ada kerusakan pada otak.

Kent A Kiehl dan Joshua W Buckholtz dalam Inside the Mind of a Psychopath di Scientific American Mind, September/Oktober 2010 menulis, otak psikopat memproses informasi secara berbeda dibandingkan dengan orang lain. Kondisi itu memengaruhi kemampuan mereka merasakan emosi, membaca isyarat orang lain, atau belajar dari kesalahan.

GKDS juga bisa dipicu faktor psikologis. Menurut Dinastuti, anak korban kekerasan atau tinggal di lingkungan penuh kekerasan bisa mengalami gangguan itu. GKDS juga bisa terpicu dari relasi penderita dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau lingkungan, juga rentan menderita gangguan. ”Pola asuh yang salah bisa menimbulkan GKDS,” kata Nalini.

Skizofrenia

Masyarakat awam sering menyebut psikopat sebagai orang gila. Pemadanan itu salah karena yang dianggap sebagai orang gila itu sebenarnya adalah penderita skizofrenia.

Dinastuti mengatakan penderita skizofrenia mengalami hambatan berpikir, perasaan dan perilaku yang tak sesuai realitas. Gejala skizofrenia biasanya baru muncul saat seseorang sudah beranjak dewasa, bukan sejak anak-anak seperti GKDS.

Nalini menambahkan, penderita skizofrenia tak menyadari apa yang dilakukan. Akibatnya, ia tak mampu menimbang baik-buruk, tak sadar dengan apa yang dilakukan, tak punya tujuan dari tindakannya, bahkan tak sadar dengan dirinya.

Kondisi berkebalikan terjadi pada seorang psikopat atau penderita GKDS. Mereka sadar dengan dirinya dan orang lain, sadar dengan apa yang dilakukan, dan tujuan tindakannya adalah untuk keuntungan dirinya.

Skizofrenia jauh lebih mudah dideteksi serta diobati dan diterapi dibandingkan dengan GKDS. Adapun GKDS bersifat menetap dan hanya bisa dikelola dengan terapi intensif psikiater atau psikolog berpengalaman.

Obat bagi penderita GKDS hanya digunakan untuk mengatasi gejala amat parah. Namun, obat itu tak bisa membuatnya menjadi seperti orang normal. ”Walau GKDS menimbulkan parut di jiwa penderita, tetapi ia masih bisa diperhalus agar tak bertambah parah. Namun, cacatnya tetap akan ada,” katanya.

Dalam hukum pidana, penderita skizofrenia biasanya tidak dihukum. Sementara dalam hukum agama, mereka umumnya dibebaskan dari sejumlah kewajiban agama. Namun, seorang psikopat bisa dijatuhi hukuman.

Kepemimpinan

Prevalensi penderita GKDS di dunia diperkirakan 0,5-1 persen. Sebagian besar di antara mereka justru bukan pembunuh dingin sadis yang ada dalam penjara seperti dalam gambaran film atau novel, melainkan justru aktif di masyarakat dan bekerja dalam berbagai profesi.

Eric Barker dalam Which Professions Have the Most Psychopath? The Fewest? di Time.com, 21 Maret 2014, menyebut tiga profesi yang banyak digeluti penderita GKDS adalah pejabat eksekutif tertinggi (CEO), pengacara, dan pekerja media elektronik.

Prevalensi psikopat pada kelompok pejabat eksekutif tertinggi, yakni empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi di masyarakat umum.

Sejumlah pemimpin dunia pun teridentifikasi sebagai psikopat. Mereka umumnya adalah pemimpin negara yang gemar mengobarkan peperangan, menebar kebencian, hingga membunuh jutaan manusia, termasuk rakyatnya tanpa rasa bersalah.

Contoh paling sering disebut sebagai pemimpin yang psikopat adalah pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Bahkan, psikiater Kanada, Phillip W Long, menyebut Hittler tidak hanya menderita GKDS, tetapi juga paranoid (curiga dan tak percaya orang lain) dan narsistik (mengagungkan diri berlebih).

Sebaliknya, pemimpin yang sering dicontohkan berkebalikan dengan karakter psikopat adalah pemimpin rakyat India, Mahatma Gandhi, tokoh yang sederhana, merakyat, dan pejuang tanpa kekerasan.

”Terkadang agresivitas diperlukan dalam sebuah kepemimpinan,” kata Dinastuti. Penderita GKDS biasanya memesona, penuh daya tarik, luwes, dan mudah memengaruhi orang lain. Karakter itu membuat seorang psikopat biasanya memiliki banyak pengikut dan pengagum.

Saat menjadi pemimpin dan melakukan kesalahan, penderita GKDS mampu menawarkan penjelasan yang seolah-olah masuk akal sehingga ia bisa terlepas dari tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Bawahan atau rakyat yang terpesona pun akan mudah memaafkannya, bahkan terus mengagung- agungkannya.

Namun, rakyat atau bawahan yang terpesona dengan karisma dan kata-kata pemimpin yang menderita GKDS itu akan sulit menumbuhkan motivasi untuk maju. Kepemimpinan pemimpin yang psikopat sulit menciptakan suasana adil dan setara karena semua komando dan kekuasaan ada di tangan pemimpin.

”Pemimpin dengan GKDS tak mau mendengar pendapat berbeda dan akan melakukan apa pun agar orang setuju dengannya,” katanya. Rakyat atau bawahan tak boleh membantah jika tidak ingin menjadi korban agresivitas pemimpinnya.

Kondisi itu membuat tak akan ada persaingan sehat dalam dunia politik karena semua lawan politik akan ditekan, diberi sanksi, bahkan dibasmi oleh sang pemimpin psikopat.


sumber :
KOMPAS.com



Dunia anak memang dunia bermain, oleh sebab itu kita sebagai orangtua tidak seharusnya merampas hak anak untuk bermain. Bermain memiliki banyak manfaat bagi tumbuh kembang anak, antara lain melatih motorik kasar dan halus, melatih kemandirian, komunikasi, dan banyak lagi.

Porsi bermain anak berusia 0-5 tahun idealnya adalah 25 persen dari seluruh aktivitas hariannya atau sekitar 4-6 jam. Menurut hasil survei online yang diadakan oleh Fisher Price terhadap 690 responden di Indonesia, sebanyak 46 persen anak sudah memenuhi kriteria tersebut, 22 persen sebanyak 6-8 jam perhari, dan 20 persen bermain sebanyak 1-3 jam.

Karena porsi bermain yang cukup besar itulah, stimulasi yang diberikan selama kegiatan bermain memiliki peran besar dalam pembentukan kecerdasan.

Dari hasil survei tersebut juga terungkap orangtua memiliki motivasi untuk mengoptimalkan perkembangan buah hatinya dengan membeli mainan. Bidang yang diinginkan untuk dikembangkan adalah 79 persen kognitif, 79 persen fisik, dan 72 persen emosional.

Menurut psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, supaya permainan anak juga memberi manfaat stimulasi, ada dua prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, pendampingan saat anak bermain.

"Jika anak bermain begitu saja tanpa adanya pendampingan, tidak akan tercipta stimulasi untuk pertumbuhan dan perkembangannya," ujarnya dalam talkshow seputar permainan anak beberapa waktu lalu di Jakarta.

Pendampingan bisa berupa mengajarkan cara memainkan mainan, baik dengan cara yang seharusnya maupun membuat variasi cara lain. Selain itu, orangtua juga bisa mengajak anak memainkan mainan dengan bernyanyi dan bergerak. Untuk itu orangtua perlu mengagendakan kegiatan bermain bersama anak setiap harinya.

Kedua, dalam mengoptimalkan stimulasi, orangtua perlu memberikan mainan pada anak sesuai dengan kategori usianya. Bila kategori usia mainan lebih rendah dari usianya, anak akan lebih mudah merasa bosan karena tidak ada tantangan. Sebaliknya, bila terlalu tinggi dari kategori umurnya, anak umumnya tidak akan mampu menikmati mainan yang diberikan.

sumber : KOMPAS.com