twitter
rss

Layanan Home Visit

TERAPIS WICARA HOME CARE/VISIT/TERAPI DI RUMAH

Terapi wicara merupakan terapi yang di lakukan untuk merehabilitasi ketidakmampuan fungsi bicara dan menelan agar dapat berkomunikasi dengan...



Jakarta, Saat akan membelikan mainan untuk putra-putrinya, oang tua biasanya terlepas dari bias gender. Umumnya, anak laki-laki akan dibesarkan dengan menerapkan hal-hal yang bersifat maskulin orang tuanya dengan menerapkan hal-hal berbau maskulin sedangkan anak perempuan lebih bersifat feminin.
Biasanya untuk anak laki-laki akan diberikan mainan robot, mobil, alat olahraga, atau mainan apapun yang menurut pandangan masyarakat umum pantas dimainkan anak laki-laki. Sementara itu, anak perempuan biasanya akan diberi mainan seperti boneka, masa-masakan, dan mainan lainnya yang bernuansa merah jambu.

Lalu bagaimana jika ada anak laki-laki yang menyukai bermain boneka atau menyukai warna merah jambu? Ada kekhawatiran pada orang tua jika anak laki-lakinya suka memainkan mainan perempuan, hal tersebut akan memengaruhi sikapnya kelak saat dewasa.

Menurut psikolog perkembangan anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, hal tersebut sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan terutama pada anak dengan umur 0 hingga 3 tahun.

"Perlu enggak dibedakan gender? Kalau untuk anak-anak di tahun awal bebasin saja. Kenapa enggak laki-laki main boneka dan suka warna pink," ucap Vera saat ditemui pada konferensi pers Fisher-Price, Pondok Indah Mall, Jakarta, dan ditulis pada Jumat (4/7/2014).

Di umur 0 hingga 3 tahun, yang dibutuhkan anak adalah stimulasi yang baik dari berbagai jenis mainan. Pastinya mainana yang digunakan harus tepat, terlepas dari pandangan gender yang menempel pada mainan tersebut.

Vera mengatakan perasaan was-was pada orang tua dapat dipahami. Namun, jangan larang anak bermain, justru sebaiknya orang tua ikut mendampingi anak saat bermain untuk memberi pengarahan.

"Enggak apa-apa anak bermain boneka tapi nanti perannya dibelokin lagi jadi peran laki-laki. Misalnya ' Kamu main boneka tapi jadi papanya ya bukan ibu,'" tutup Vera.

(up/rdn)detikhelth/www.anak-pelangi-centre.blogspot.com



Jakarta, Ketika mendengar si kecil mengucap kata 'mama' atau 'papa' pasti menjadi hal yang sangat membanggakan bagi setiap orang tua. Meskipun waktu anak bisa berbicara akan berbeda pada masing-masing anak, ada cara-cara yang bisa dilakukan orang tua untuk melatih anak belajar.

Seperti penuturan Dr Soedjatmiko, SpA(K), MSi, melatih anak agar tidak terlambat bicara bisa dilakukan dengan menerapkan metode seperti berbicara pada anak sesering mungkin, dengan penuh kasih sayang, walaupun ia belum bisa bicara.

"Biasakan bertanya, memberi komentar tentang fisik anak, perasaannya, atau perilakunya, kemudian menyatakan perasaan Anda kepada anak misalnya kangen atau sayang. Anda juga bisa menceritakan benda-benda yang ada di sekitar," tutur dr Miko seperti dikutip detikHealth dari buku 'Cara Praktis Membentuk Anak Sehat, Tumbuh Kembang Optimal, Kreatif, dan Cerdas Multipel', Kamis (3/7/2014).

Selain benda-benda, orang tua juga bisa menceritakan kegiatan si anak seperti mandi dan makan, juga kegiatan orang tuanya. Misalnya saat ibu sedang membuat susu ceritakan berapa takar susu dan air yang digunakan lalu bagaimana cara membuatnya.

Ketika anak bersuara meskipun tidak jelas apa yang ia ucapkan, dr Miko sangat menganjurkan untuk merespons apa yang dikatakan anak. Baik dengan memberi jawaban atau memberi pujian. Melatih anak berbicara pun bisa dilakukan ketika Anda bermain dengan si kecil lho.

"Ibu atau ayah bisa memainkan mainan sambil bercerita pada anak, bernyanyi, memutarkan kaset dan mengajak anak bermain bersama, atau membacakan cerita sambil menunjukkan gambar yang ada. Setelah cerita selesai, tanyakan kembali nama benda atau tokoh yang ada di cerita," terang konsultan tumbuh kembang anak di FKUI-RSCM ini.

Waktu menonton tv yang tidak terlalu lama juga bisa jadi momen orang tua mengajak anak berlatih bicara. Nah, selama mengajari anak bicara, dr Miko menekankan jangan memaksa si kecil berbicara atau menyalahkannya ketika salah berucap.

"Kalau anak bicara beri jawaban seolah-olah kita mengerti apa yang dia katakan, puji dia kalau berbicara dengan benar dan kalau anak sudah bosan sebaiknya beralih ke kegiatan lain," pesan dr Miko
Detikhelth/www.anak-pelangi-centre.blogspot.com



Memanjakan anak dengan mainan tidak dilarang, namun jangan berlebih. Jika berlebihan anak dapat menjadi tergantung pada orang tua dan merasa kenginannya harus selalu dipenuhi.

Dalam hal memilih mainan yang tepat untuk anak, terkadang ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan kakek dan nenek. Padahal memilih mainan yang tepat sesuai perkembangan adalah sesuatu yang penting seperti dikatakan oleh psikolog perkembangan anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo.

"Yang namanya pengasuhan enggak bisa sendiri, Kalau urusannya sama kakek nenek itu urusannya sama beda pengasuhan termasuk di dalamnya pemilihan mainan," ujar Vera pada acara konferensi pers Fisher-Price di Pondok Indah Mall, Jakarta, seperti ditulis Sabtu (5/7/2014).

Kakek dan nenek seringkali memanjakan dan memberikan berbagai macam mainan untuk cucunya, padahal belum tentu mainan yang diberikan cocok sesuai usia.

"Kalau dengan mertua ketemu sebulan sekali tidak apa-apa, tapi kalau hampir setiap hari butuh pengarahan. Kendalanya yang sering saya temui pada orang tua kadang kakek neneknya itu enggak terima. Akan lebih baik kalau para kakek nenek itu juga diajak seminar dan sharing untuk membuka wawasan," kata Vera.

Vera melanjutkan sebenarnya yang sulit adalah bagaimana mengarahkan sang ayah untuk tidak sembarangan membelikan anak mainan. Menurut Vera terkadang suami sehabis pulang bekerja suka membeli mainan.

"Bapak-bapak biasanya suka beli aja, tiba-tiba pulang bawa mainan. Biasanya karena merasa bersalah jarang di rumah, jarang bermain sama anak. Jadi menebus rasa bersalahnya itu dengan membelikan anak mainan," ucap Vera.

Menurut Vera kebiasaan tersebut tidak baik untuk anak. Anak tidak bisa dengan mudahnya mendapatkan sesuatu tanpa ada upaya.

(rdn/up) detikhelth/TCAP/10