twitter
rss

Layanan Home Visit

TERAPIS WICARA HOME CARE/VISIT/TERAPI DI RUMAH

Terapi wicara merupakan terapi yang di lakukan untuk merehabilitasi ketidakmampuan fungsi bicara dan menelan agar dapat berkomunikasi dengan...



Oval: DIPAKSA CALISTUNG BISA TERKENA  “MENTAL HECTIC”

Anak usia di bawah lima tahun (balita) sebaiknya tak buru-buru diajarkan baca tulis dan hitung (calistung). Jika dipaksa calistung si anak akan terkena 'Mental Hectic'.

''Penyakit itu akan merasuki anak tersebut di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD). Oleh karena itu jangan bangga bagi Anda atau siapa saja yang memiliki anak usia dua atau tiga tahun sudah bisa membaca dan menulis,'' ujar Sudjarwo, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas, Sabtu (17/7).

Oleh karena itu, kata Sudjarwo, pengajaran PAUD akan dikembalikan pada 'qitah'-nya. Kemendiknas mendorong orang tua untuk menjadi konsumen cerdas, terutama dengan memilih sekolah PAUD yang tidak mengajarkan calistung.

Saat ini banyak orang tua yang terjebak saat memilih sekolah PAUD. Orangtua menganggap sekolah PAUD yang biayanya mahal, fasilitas mewah, dan mengajarkan calistung merupakan sekolah yang baik. ''Padahal tidak begitu, apalagi orang tua memilih sekolah PAUD yang bisa mengajarkan calistung, itu keliru,''  jelas Sudjarwo.

Sekolah PAUD yang bagus justru sekolah yang memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, tanpa membebaninya dengan beban akademik, termasuk calistung.  Dampak memberikan pelajaran calistung pada anak PAUD, menurut Sudjarwo, akan berbahaya bagi anak itu sendiri. ''Bahaya untuk konsumen pendidikan, yaitu anak, terutama dari sisi mental,'' cetusnya.

Memberikan pelajaran calistung pada anak, menurut Sudjarwo, dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. ''Jadi tidak main-main itu, ada namanya 'mental hectic', anak bisa menjadi pemberontak,'' tegas dia.
Kesalahan ini sering dilakukan oleh orang tua, yang seringkali bangga jika lulus TK anaknya sudah dapat calistung. Untuk itu, Sudjarwo mengatakan, Kemendiknas sedang gencar mensosialisasikan agar PAUD kembali pada fitrahnya. Sedangkan produk payung hukumnya sudah ada, yakni SK Mendiknas No 58/2009. ''SK nya sudah keluar, jadi jangan sembarangan memberikan pelajaran calistung,'' jelasnya. (republika.co.id-TCAP/III/14). 





Menghadapi si Pembangkang perlu cara khusus. Betul, anak-anak prasekolah sebenarnya sudah diajarkan mengenai aturan dan  norma–norma secara konsisten dan mereka sedikit banyak sudah memahaminya. Namun ingat, penanaman aturan dan norma bukanlah proses yang singkat. Ada saja kendala yang menghadang, termasuk ngeyel dan membangkang untuk tidak mematuhi aturan/norma yang ada.
Nah, menghadapi si pembangkang, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Bersikap tenang dan introspeksi.
Tak perlu menanggapi sikap menentang anak dengan spontan, reaktif, dan tergesa-gesa. Bersikaplah tenang dalam menghadapinya. Pahami latar belakang yang menyebabkan anak membangkang serta kondisi psikologis dan tugas perkembangan anak usia ini. Orangtua perlu introspeksi terhadap perilaku “tidak patuh” anak. Misal, inkosistensi, aturan terlalu kaku, konsekuensi berlebihan, kurang apresiasi, dan sebagainya.
2. Hindari memberikan label
Tak sedikit orangtua menjuluki anak yang kerap protes dengan “anak nakal, bandel, pembangkang” atau menyindirnya dengan kata-kata tajam yang sesungguhnya  dapat melukai perasaan anak. Pada saat itu biasanya muncul pernyataan,“Maunya kamu ini apa sih, kok sama orangtua tidak nurut? Bisa-bisanya kamu menentang orangtua.” Kata-kata seperti ini bisa merenggangkan hubungan orangtua dengan anak.
3. Ciptakan suasana menyenangkan.
Caranya dengan mengganti ucapan yang bernada perintah/paksaan menjadi sebuah “ajakan”. Dengan bahasa ajakan yang halus, anak akan lebih mendengarkan dan senang melakukan apa yang menjadi keinginan orangtua. Ia pun merasa nyaman karena tidak merasa dipaksa. Cara yang lembut akan membuat anak merasa orangtua mencintainya dan menganggap dirinya sebagai seseorang yang spesial. Dari situ anak termotivasi melakukan yang terbaik untuk orangtuanya.
4. Ajak anak berbicara.
Bila anak merasa tak diperhatikan, ajaklah ia mengobrol. Posisikan sejajar, duduk bersama di sofa atau di teras rumah, dengarkan apa pun topik yang ia bicarakan. Tanggapi dengan baik sehingga ia merasa diperhatikan kembali. Biasakan untuk mengajak anak berdialog sejak kecil, meski perkembangan bahasanya masih terbatas. Umpama, anak menolak permintaan orangtua, tanyakan mengapa ia tidak mau, pancing jawabannya lalu coba arahkan bagaimana seharusnya. Terlebih di usia prasekolah, umumnya penolakan anak disertai dengan alasan,  “Aku enggak mau makan. Sayurnya pahit.”
5. Hindari ancaman/paksaan.               
Selain membuatnya makin menolak, anak pun jadi belajar bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan ancaman/paksaan, bukan dengan dialog dan saling mendengarkan.
6. Instruksi yang jelas.
Bila kita memberikan instruksi atau aturan tertentu pada si prasekolah, utarakan dengan jelas, gunakan kata-kata yang sederhana, dan tidak otoriter. Anak mungkin merasa jenuh kalau kita mengatakan sesuatu panjang lebar, apalagi diulang-ulang dan terkesan menyuruh-nyuruh.
7. Cari saat yang tepat.
Hindari memberikan perintah pada saat dan kondisi anak yang tidak tepat, umpama sedang capek, lapar atau mengantuk, karena bisa dipastikan akan melahirkan ”pemberontakan” atau membantah. Permintaan pada anak sebaiknya disampaikan dalam kondisi anak tenang, santai, dan ceria.
8. Pilihan terbatas.
Misal, anak tidak mau segera tidur, orangtua bisa menggunakan kata, “Adek mau gosok gigi dulu atau ganti baju dulu baru tidur?” Dengan begitu anak merasa dilibatkan saat pengambilan keputusan. Tak kalah penting,  fokus tentang apa yang harus dilakukan. Misal, jika ingin menyuruh anak membereskan mainan, fokuslah pada masalah itu, “Membereskan mainan lebih penting untuk dikerjakan sebelum menonton teve. Jika tidak mau membereskan mainan, maka teve akan dimatikan.” Yang pasti, pesan yang ingin disampaikan harus jelas, sederhana dan tidak otoriter. Sekali lagi, anak akan merasa bosan jika orangtua selalu membahas hal yang sama berulang-ulang dan terlalu panjang.
9. Jadilah contoh.
Orangtua menjadi role model bagi si prasekolah. Tak hanya menyuruh anak membereskan mainan, tapi mencontohkan bagaimana kerapian di rumah harus dijaga. Bagaimana ayah-ibu  selalu membereskan seprai tempat tidur setelah bangun, menata sepatu di raknya kembali dengan baik, dan lainnya. Dengan sering melihat contoh dari orangtua, lebih mudah bagi anak untuk menurut saat diminta melakukan sesuatu. 


10. Reward and punishment.
Penghargaan (reward) diberikan saat anak mau mendengarkan kata-kata orangtua dan melakukannya. Penghargaan tidak harus bersifat fisik. Justru reward yang bersifat emosional (seperti pujian dan ekspresi cinta dari orangtua) jauh lebih berarti buat anak. Penghargaan yang diberikan orangtua dapat menjadi awal dalam membangun hubungan yang lebih baik antara orangtua dan anak.
Akan halnya hukuman, sebaiknya diubah menjadi konsekuensi negatif. Lakukan negosiasi dengan anak tentang konsekuensi yang diterapkan jika anak tidak mau mengikuti suatu aturan/norma. Contoh konsekuensi adalah hari Minggu si prasekolah tidak ikut pergi bertamasya, bermain lebih sebentar, atau tidak boleh bermain dengan mainan kesukaan anak dalam waktu tertentu.
Bila dengan upaya-upaya di atas, anak masih ngeyel atau membangkang, harap selalu diingat, tak ada proses penanaman nilai yang bersifat instan. Tetaplah bersabar dan jangan berputus asa untuk mengoreksi perilaku anak dengan cara-cara positif seperti yang disarankan di atas. Kabar yang menggembirakan, kepatuhan anak akan meningkat sejalan dengan perkembangan moral dan usianya. Menghadapi si pembangkang membutuhkan usaha keras dan telaten.
(kompas.com-TCAP/III/14).