twitter
rss

Layanan Home Visit

TERAPIS WICARA HOME CARE/VISIT/TERAPI DI RUMAH

Terapi wicara merupakan terapi yang di lakukan untuk merehabilitasi ketidakmampuan fungsi bicara dan menelan agar dapat berkomunikasi dengan...



Memanjakan anak dengan mainan tidak dilarang, namun jangan berlebih. Jika berlebihan anak dapat menjadi tergantung pada orang tua dan merasa kenginannya harus selalu dipenuhi.

Dalam hal memilih mainan yang tepat untuk anak, terkadang ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan kakek dan nenek. Padahal memilih mainan yang tepat sesuai perkembangan adalah sesuatu yang penting seperti dikatakan oleh psikolog perkembangan anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo.

"Yang namanya pengasuhan enggak bisa sendiri, Kalau urusannya sama kakek nenek itu urusannya sama beda pengasuhan termasuk di dalamnya pemilihan mainan," ujar Vera pada acara konferensi pers Fisher-Price di Pondok Indah Mall, Jakarta, seperti ditulis Sabtu (5/7/2014).

Kakek dan nenek seringkali memanjakan dan memberikan berbagai macam mainan untuk cucunya, padahal belum tentu mainan yang diberikan cocok sesuai usia.

"Kalau dengan mertua ketemu sebulan sekali tidak apa-apa, tapi kalau hampir setiap hari butuh pengarahan. Kendalanya yang sering saya temui pada orang tua kadang kakek neneknya itu enggak terima. Akan lebih baik kalau para kakek nenek itu juga diajak seminar dan sharing untuk membuka wawasan," kata Vera.

Vera melanjutkan sebenarnya yang sulit adalah bagaimana mengarahkan sang ayah untuk tidak sembarangan membelikan anak mainan. Menurut Vera terkadang suami sehabis pulang bekerja suka membeli mainan.

"Bapak-bapak biasanya suka beli aja, tiba-tiba pulang bawa mainan. Biasanya karena merasa bersalah jarang di rumah, jarang bermain sama anak. Jadi menebus rasa bersalahnya itu dengan membelikan anak mainan," ucap Vera.

Menurut Vera kebiasaan tersebut tidak baik untuk anak. Anak tidak bisa dengan mudahnya mendapatkan sesuatu tanpa ada upaya.

(rdn/up) detikhelth/TCAP/10



Orang tua mana pun saat menyaksikan anaknya mengikuti pertandingan olahraga tentu ingin sang buah hati terus-menerus menang. Padahal anak juga perlu sesekali merasakan kalah, lho.
Tak sepenuhnya lantas orang tua harus disalahkan jika ingin anaknya menjadi juara. Sebab pada dasarnya orang tua memang didesain ingin anak-anaknya berhasil. Padahal, kegagalan tak selalu memiliki arti buruk. Merasa gagal bisa melatih anak untuk terus berkompetisi.

"Kelincahan dan ketangkasan adalah arti dari kata 'pintar' yang baru," ungkap Annmarie Neal, psikolog sekaligus penulis 'Leading from the Edge: Global Executives Share Strategies for Success', seperti dikutip dari CNN, Minggu (6/7/2014).

Neal mengungkapkan bahwa dalam perkembangan kehidupan saat ini, rahasia sukses anak ke depannya adalah jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang mendorong mereka untuk untuk menguji batas dan terlibat dengan segala hal di sekitarnya, termasuk untuk gagal.

"Ketika anak-anak tidak belajar bagaimana rasanya gagal, maka tercipta energi neurotik yang disebut perfeksionisme. Mereka terjebak dalam lingkaran sempurna dan kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman," pungkas ibu dari seorang anak berusia 11 tahun ini.

Disampaikan juga oleh salah seorang pengusaha sekaligus pendiri AppFirst, bahwa anak-anak perlu mempelajari bagaimana cara mengatasi stres.

"Dari segi pekerjaan kami tentu ingin memiliki generasi penerus yang tangguh dan terampil secara mental. Semakin Anda pernah jatuh dari kegagalan dan bangkit kembali, maka semakin Anda kuat bertahan di masa depan," pesannya.

Oleh sebab itu, jangan lantas menyudutkan anak jika ia kalah dalam suatu kompetisi atau gagal jadi juara kelas, ingatkan ia akan pentingnya bangkit kembali dan kembali meraih impian.

(ajg/up) detikhelth/TCAP/10



 Untuk menghentikan tangis si kecil, orang tua atau pengasuh bisa melakukan berbagai cara. Salah satunya yang sering ditemui adalah memberi empeng pada anak. Padahal, seyogianya orang tua memastikan terlebih dulu apa penyebab anak menangis.

Seperti penuturan dr Marissa Pudjiadi SpA, empeng bukanlah jawaban dari seluruh tangisan anak, terutama bayi. Oleh karenanya, orang tua atau pengasuh harus mengerti tangisan bayi. Bisa saja si kecil lapar, tidak nyaman karena popoknya basah, atau bosan.

"Jika sering dijejali dengan empeng setiap kali bayi menangis, itu akan membuatnya berpikir bahwa jawaban dari rasa tidak nyaman adalah empeng dan akhirnya si kecil tergantung pada empeng," kata dr Marissa seperti dikutip dari buku '250 Tanya Jawab Kesehatan Anak', Jumat (18/7/2014).

Diutarakan dr Marissa, si kecil pasti akan berhenti menangis jika penyebabnya sudah teratasi. Namun, bilsa semua penyebab sudah diatasi dan anak masih menangis, kemungkinan ia mengalami kolik infantil. Nah, untuk membuat anak merasa lebih nyaman, empeng bisa diberikan.

Kolik infantil bisa terjadi pada bayi dan penyebabnya sering dikaitkan dengan gangguan saluran cerna. Misalnya saja kram pada oror dinding usus yang dapat disebabkan karena kembung atau alergi susu sapi. Tetapi, ditegaskan dr Marissa penyebab dan mekanisme pastinya belum diketahui sampai saat ini.

dr Marissa menyarankan penggunaan empeng sebaiknya dimulai saat anak berusia di atas satu bulan.Bila diberikan di usia kurang dari satu bulan, bisa-bisa si kecil mengalami bingung puting. Ketika usia 6-9 bulan, di mana anak spontan melupakan empeng karena tertarik dengan hal lain, sebaiknya bantu mengalihkan perhatiannya.

"Hentikan penggunaan empeng saat anak umur satu tahun. Sebab penggunaan empeng sampai di atas dua tahun bisa mengganggu pertumbuhan gigi dan rahang, kemampuan bicara, serta sosialisasi anak," tandas dokter yang praktik di RS Premiere Jatinegara ini.

(rdn/up/detikhealth.com/TCAP/09)