Beberapa tahun terakhir ini kasus anak
dengan terlambat bicara semakin meningkat. Berdasarkan data dari Departemen
Rehabilitasi Medik RSCM (2006) dari 1125 kunjungan terdapat 10.13 % anak yang
mengalami keterlambatan bicara. Menurut Hurlock (1978), dikatakan terlambat bicara apabila tingkat
perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak
yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata.
Sedangkan menurut Papalia (2004) menjelaskan bahwa anak yang terlambat bicara adalah anak yang pada usia 2 tahun memliki
kecenderungan salah dalam menyebutkan kata, kemudian memiliki perbendaharaan
kata yang buruk pada usia 3 tahun,
atau juga memiliki kesulitan dalam
menamai objek pada usia 5 tahun. Dan anak yang seperti itu, nantinya mempunyai
kecenderungan tidak mampu dalam hal membaca.
Terlambat bicara
pada anak dapat digolongkan menjadi dua golongan informasi yaitu :
1. Informasi yang pertama
: “anak saya sudah
bisa mengucapkan “mama”, “papa”, dan “maem” (untuk makan), namun setelah
menginjak usia 1,5 tahun ucapan-ucapan itu hilang, diganti dengan ucapan yang tidak jelas maknanya.
Tidak mau bicara lagi, kalau menghendaki sesuatu tangannya menarik-narik dan
hanya menunjuk-nunjuk. Kalau ditanya “minta apa”,? Eh, hanya meniru saja “minta
apa”?.
2. Informasi yang kedua : “anak saya tidak pernah sakit,
pokoknya normal saja, dulu pernah”ngoceh”, entah usia berapa, sudah lupa.
Sekarang usia anak saya sudah dua tahun, kok belum bisa bicara, sedangkan anak
saudara saya “cerewet sekali”, padahal usia anaknya sama dengan usia anak saya.
Kalau diajak bicara atau disuruh meniru, hanya melihat sekejap kemudian
melihat/melengos kearah lain. Herannya dia mengerti kalo disuruh mengambil
sepatunya, tetapi rasa-rasanya mengertinya sedikit sekali.tidak pernah bicara
apapun”.
Kedua informasi tersebut di atas
tentunya disertai dengan informasi gejala-gejala lainnya yang relatif mempunyai
kemiripan. Kadang-kadang informasi pertama dan atau yang kedua sudah dilengkapi
dengan data hasil pemeriksaan medis, seperti misalnya EEG, CT Scan, MRI, BERA.
Apabila belum mempunyai data medis, selanjutnya akan disarankan menghubungi
ahli yang terkait. Dari dua informasi tersebut di atas dan dukungan data
lainya, dapat dipastikan bahwa anak tersebut terlambat wicara. Bentuk keterlambatan
wicara dari informasi pertama berbeda dari bentuk keterlambatan wicara dari
informasi kedua.
Anak dari informasi pertama, mengalami
perkembangan bahasa dan wicara sampai dengan tahap wicara benar (true speech). Anak ini pernah mempunyai
konsep pemahaman dan konsep ujaran (decoding dan encoding) sesuai dengan usia
kalendernya. Sempat terjadi hubungan yang harmonis antara pusat pemahaman
bahasa (area Wernicke’s) dengan pusat motorik (area Broca’s), kerjasama dan
saling mendukung antara hemisfer kiri dengan hemisfer kanan.
Sedangkan anak dari informasi kedua tidak
mengalami perkembangan bahasa dan wicara sampai dengan tahap wicara benar (true
speech). Anak ini hanya “ngoceh”, bentuk “ngoceh” dalam perkembangan bahasa dan
wicara bisa dalam bentuk tahap refleksif vokalisasi, bisa tahap babling, bisa
tahap lalling. Anak ini belum menpunyai konsep pemahaman dan konsep ujaran.
Perkembangan bahasa dan wicara belum mencapai kematangan tingkat kortikal.
Belum / tidaknya terhubung antara area Wernicke’s dengan area Broca’s. Dengan
adanya stimulus yang alami (dari orang tua atau orang-orang disekitarnya) bisa
berkembang secara bersendiri antara pusat pemahaman dan pusat motorik, anak menjadi
paham akan ajaran orang lain, tentunya dengan keterbatasan tertentu, namun
tidak bisa menggerakan alat ujar (dispraksi). Sebaliknya, apabila kondisi pusat
motorik lebih baik dari pusat pemahaman, meskipun tidak paham, tidak konteks
dengan situasi anak akan berujar semena-mena. Pandai meniru ujaran orang lain
tanpa mengerti maknanya (echolalic, gangguan turn talking).
Memahami perbedaan bentuk keterlambatan
wicara pada anak dengan predikat autisma, secara pasti akan berpengaruh sekali
kepada kebutuhan program terapi wicara. Terhentinya tahap perkembangan bahasa
dan wicara pada derajat yang lebih rendah (informasi kedua) memerlukan
pendekatan metodologi yang lebih mendasar guna membangun kemampuan sensomotoris
yang akurat.
Mengembangkan keterampilan berbahasa
harus memahami tentang sudah adakah maturasi hemisfer otak. Memanifestasi dari
maturasi hemisfer di otak dapat diketahui melalui manifestasi dalam dominasi
penggunaan tangan. Tentang ketanganan / Handedness
menjadi penting sekali, untuk anak terlambat bicara, terutama anak dengan
predikat autisma, bahwa secara teoritik otak bayi normal sudah tidak simetrik
sejak kehamilan trimester kedua. Hal ini disebabkan proses retraksi dan
kematian yang meluas (ekstensif) secara fisiologik pada belahan otak kanan.
Pada waktu itu fungsi otak kiri masih sama dengan fungsi otak kanan. Pada
wanita proses lateralisai lebih cepat berlangsung dibandingkan pada laki-laki,
hal ini disebabkan oleh suatu gen dominan yaitu rs (right shift) yang
berpengaruh pada maturasi otak. Karena wanita itu homozygot (xx), maka wanita
mempunyai gen tersebut 2 kali lipat, sehingga proses maturasi akan lebih cepat.
Lateralisasi pengaturan bicara dan
pemilihan (preferensi) tangan merupakan satu kesatuan, sehingga dengan adanya
pengaruh gen dominan (rs+) maka fungsi/pengaturan wicara ditempatkan di belahan otak kiri. Daerah proyeksi
sensortik-motor dengan motorik tangan letaknya berdekatan, maka daerah motorik
tangan akan ikut dirangsang. Sehingga tinggal timbul pilihan (preferensi) pada
tangan kanan. Preferensi tangan ini ditujukan
hanya untuk gerakan motorik halus dan kompleks. Sedangkan untuk motorik
tangan yang sederhana (kasar) bimanual diatur oleh kedua belah otak. Oleh
karena itu, wicara sebagai suatu gerakan motorik halus yang kompleks, diatur
oleh belahan otak kiri. Lateralisasi mulai terjadi sekitar usia 2 – 2,5 tahun
dan menetap pada usia 3 tahun.
Dikutip dari berbagai sumber.
(AS/tcap/xi/16/)