twitter
rss

Layanan Home Visit

TERAPIS WICARA HOME CARE/VISIT/TERAPI DI RUMAH

Terapi wicara merupakan terapi yang di lakukan untuk merehabilitasi ketidakmampuan fungsi bicara dan menelan agar dapat berkomunikasi dengan...



1   Pengertian Gangguan Bahasa
Menurut Soetjiningsih (1995) gangguan bahasa merupakan keterlambatan dalam sektor bahasa yang dialami oleh seorang anak. Kemampuan berbahasa merupakan suatu indikator seluruh perkembangan anak. Jika seorang anak tidak mampu berbicara maka dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan mengungkapkan perasaannya kelak.  Dalam artikel “Frequently Asked Question”, Jeniffer Fusco (2002) mengungkapkan bahwa gangguan bahasa merupakan suatu keterlambatan dalam berbahasa ataupun bicara dimana jika dilakukan penanganan dini akan sangat menolong anak dalam masalah bahasa. Penyebab kelainan berbahasa bermacam-macam yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi, antara lain kemampuan lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi, psikologis dan lain sebagainya.
Aram D.M (1987) dan Towne (1983) gejala-gejala anak dengan gangguan bahasa adalah sebagai berikut :
  1.       Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap suara yang datang dari belakang atau samping.
  2.       Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri.
  3.       Pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata janga, da-da, dan sebagainya.
  4.      Pada usia 18 bulan tidak dapa menyebut sepuluh kata tunggal
  5.      Pada usia 2 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk, kemari, berdiri)
  6.      Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh
  7.      Pada usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata-kata yang sangat sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase
  8.       Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri ari 2 buah kata.
  9.       Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarganya
  10.       Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan menggunakan kalimat tanya yang sederhana.
  11.       Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba untuk ban dan lain-lain)
  2. Perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif
Menurut Towne perkembangan berbicara dan berbahasa pada anak normal usia toddeler adalah sebagai berikut :

Umur
Bahasa Reseptif (Pasif)
Bahasa Ekspresif (Aktif)
12 bulan
Reaksi dengan melakukan gerakan terhadap berbagai pertanyaan verbal
Mengungkapkan kesadara tentang obyek yang telah akrab dan menyebut namanya
15 bulan
Mengetahui dan mengenali nama-nama bagian tubuh
Kata-kata yang benarterdengar diantara kata-kata yang kacau, sering dengan disertai gerakan tubuhnya.
18 bulan
Dapat mengetahui dan mengenali gambar-gambar obyek yang sudah akrab dengannya, jika obyek disebut namanya
Lebih banyak menggunakan kata-kata daripada gerakan, untuk mengungkapkan keinginannya.
21 bulan
Akan mengikuti petunjuk yang berurutan (ambil topimu dan letakkan diatas meja)
Mulai mengkombinasikan kata-kata (mobil papa, mama berdiri)
24 bulan
Mengetahui lebih banyak kalimat yang lebih rumit.
Menyebut nama sendiri

3  Bahasa & Bicara (Reseptif & Eksprosif):
Bahasa dibagi menjadi dua bagian yang disebut reseptif/ pemahaman dan ekspretif atau pengungkapan secara verbal. Bahasa reseptif (pemahaman) misalnya dengan menanyakan “mana hidung?” atau konsep dasar lainnya sesuai dengan usia anak. Kemampuan ekspretif (berkata) misalnya dengan menanyakan “ini apa?” dan anak menjawab pertanyaan sesuai dengan usia.
               Pemahaman terhadap patokan-patokan perkembangan maupun tingkatan dari Bahasa & Bicara akan sangat membantu Terapis Wicara dalam menganalisa kemampuan anak dari berbagai macam sisinya. Berikut ini adalah beberapa macam patokan-patokan dasar yang dapat dipakai untuk hal tersebut.

4 Gangguan Bahasa Ekspresif
Adalah  adanya gangguan bahasa dalam hal perbandaharaan kata, pemakaian keterangan (tenses) dengan tepat, produkasi kalimat yang kompleks, dan mengingat kata-kata.

 Ciri-ciri

*  indikasi: usia 18 bulan, saat anak tidak dapat mengucapkan kata dengan spontan bahkan untuk kata tunggal.
* sebelum usia 3 tahun bentuk kurang berat tidak terjadi smpai masa remaja awal, tetap menunjukan keinginan berkomunikasi
* saat mulai bicara, defisit bahasa menjadi jelas, artikulasi immature
* usia 4 tahun, berbicara dengan frase pendek, biasanya meluapkan kata yang lama saat        mereka mempelajari kata yang baru
* bahasa verbal atau isyarat di bawah tingkat usianya
* skor rendah pada tes verbal, ekspresif yang baku
* bahasa, perbandaharaan kata, tata bahasa sederhana dan sangat terbatas

Penyebab:
* trauma (belum jelas).
* faktor genetik ( biasanya memiliki riwayat keluarga fonologis atau gangguan komunikasi lain).
* gangguan neurologis pada anak (kerusakan / keterlambatan maturasi pada serebral, otak kiri).
* memiliki gangguan pendengaran. Prevelensi: pada anak usia sekolah, laki-laki/ perempuan.
Akibat dari gangguan:
* masalah emosional pada usia sekolah (citra diri buruk, frustrasi, depresi).
* mengganggu pencapaian akademik.
* masalah perilaku: hiperkativitas, rentang perhatian singkat, perilaku menarik diri,
menghisap ibu jari, mengompol, gangguan konduksi.
Terapi:
* biasanya 50% dapat sembuh dengan spontan.
* latihan pendorong perilaku dan praktek fonen (unit suara), perbendaharaan kata, dan
konstruksi    kalimat.
* konseling parental suportif.

5 Gangguan bahasa Reseptif
Perkembangan gangguan bahasa reseptif dibagi sebagai berikut :
1.      Lahir – 9 bulan : anak mulai mendengar dan mengerti, kemudian berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.
2.      Sampai 12 bulan : anak berbahasa reseptif auditorik, belajar mengerti apa yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik misalnya dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.
3.      Sampai 7 tahun : anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi auditorik kata-kata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.
4.      Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa reseptif visual (membaca). Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan bunyi perkataan.
5.      Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa ekspresif visual (mengeja dan menulis).
(sumber:pendidikan.blogspot.com)



Perilaku kanak-kanak sangat memengaruhi kepribadian seseorang saat dewasa. Ketika anak gemar melakukan kekerasan, suka menggunakan kata-kata manis untuk mendapatkan keinginannya tetapi berlaku kasar saat tak tercapai, orangtua perlu waspada. Itu adalah sebagian gejala perilaku gangguan kepribadian dissosial atau psikopati.

Gangguan kepribadian dissosial (GKDS) atau antisocial personality disorder adalah terminologi baru untuk gangguan psikopati. ”Gejala gangguan ini bisa muncul sejak anak berumur kurang dari lima tahun,” kata Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti, di Jakarta, Rabu (2/7).

Gangguan kepribadian itu dipicu adanya perbedaan besar antara perilaku seseorang dan norma yang berlaku. Penderita GKDS tak peduli dengan aturan atau kewajiban sosial. Perilakunya tak bertanggung jawab dan cenderung menyalahkan orang lain.

Mereka juga mudah frustrasi, gampang melakukan kekerasan, tak punya rasa bersalah, dan tak mampu mengambil pelajaran, bahkan dari hukuman. Akibatnya, ia bisa melakukan hal kejam berulang-ulang.

Orang dengan GKDS juga tak bisa berempati, tak peduli perasaan orang lain, dan hati nuraninya hampir mati. Mereka adalah pribadi yang amat egosentris dan emosinya dangkal. Akibatnya, ia tak mampu memelihara hubungan yang langgeng meski sebenarnya tak sulit melakukannya.

Psikiater konsultan di RSUD Dr Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, mengatakan, penampilan fisik penderita GKDS atau psikopat sama seperti orang pada umumnya. Namun, perilaku dan cara berpikirnya amat kaku.

”Kaku dengan teguh pendirian atau berprinsip itu dua hal berbeda,” katanya. Orang yang berprinsip tetap bisa luwes dan menerima masukan orang lain. Adapun orang yang kaku sulit menerima dan menghargai perbedaan.

Dari gejala GKDS itu, perilaku yang mudah dilihat pada anak yang berpotensi mengalami gangguan ini antara lain suka melakukan hal berbahaya, senang melanggar hak orang, atau ketika minta maaf tak tulus. Mereka juga suka menyiksa atau membunuh binatang dengan kejam, merusak perabotan, atau membakar barang.

Mereka juga gemar melakukan kebohongan manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pribadi serta impulsif atau bertindak menurut gerak hati tanpa pikir panjang.

Meski gejalanya muncul sejak kanak-kanak, diagnosis gangguan itu baru bisa ditegakkan saat seseorang telah berusia 18 tahun. ”Orang yang menunjukkan perilaku GKDS tak bisa langsung dicap sebagai psikopat,” kata Nalini. Butuh diagnosis khusus dan pengamatan jangka panjang penderita.

Mendiagnosis penderita GKDS juga bukan perkara mudah. Penderita umumnya manis tutur katanya, pintar bicara dan persuasif tetapi manipulatif. Mereka biasanya memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. ”Psikiater atau psikolog harus ekstra hati-hati karena bisa justru menjadi korban manipulasi mereka,” ujarnya.

Multifaktor

Munculnya gangguan itu dipicu banyak faktor. Salah satunya adalah persoalan genetika yang diturunkan atau ada kerusakan pada otak.

Kent A Kiehl dan Joshua W Buckholtz dalam Inside the Mind of a Psychopath di Scientific American Mind, September/Oktober 2010 menulis, otak psikopat memproses informasi secara berbeda dibandingkan dengan orang lain. Kondisi itu memengaruhi kemampuan mereka merasakan emosi, membaca isyarat orang lain, atau belajar dari kesalahan.

GKDS juga bisa dipicu faktor psikologis. Menurut Dinastuti, anak korban kekerasan atau tinggal di lingkungan penuh kekerasan bisa mengalami gangguan itu. GKDS juga bisa terpicu dari relasi penderita dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau lingkungan, juga rentan menderita gangguan. ”Pola asuh yang salah bisa menimbulkan GKDS,” kata Nalini.

Skizofrenia

Masyarakat awam sering menyebut psikopat sebagai orang gila. Pemadanan itu salah karena yang dianggap sebagai orang gila itu sebenarnya adalah penderita skizofrenia.

Dinastuti mengatakan penderita skizofrenia mengalami hambatan berpikir, perasaan dan perilaku yang tak sesuai realitas. Gejala skizofrenia biasanya baru muncul saat seseorang sudah beranjak dewasa, bukan sejak anak-anak seperti GKDS.

Nalini menambahkan, penderita skizofrenia tak menyadari apa yang dilakukan. Akibatnya, ia tak mampu menimbang baik-buruk, tak sadar dengan apa yang dilakukan, tak punya tujuan dari tindakannya, bahkan tak sadar dengan dirinya.

Kondisi berkebalikan terjadi pada seorang psikopat atau penderita GKDS. Mereka sadar dengan dirinya dan orang lain, sadar dengan apa yang dilakukan, dan tujuan tindakannya adalah untuk keuntungan dirinya.

Skizofrenia jauh lebih mudah dideteksi serta diobati dan diterapi dibandingkan dengan GKDS. Adapun GKDS bersifat menetap dan hanya bisa dikelola dengan terapi intensif psikiater atau psikolog berpengalaman.

Obat bagi penderita GKDS hanya digunakan untuk mengatasi gejala amat parah. Namun, obat itu tak bisa membuatnya menjadi seperti orang normal. ”Walau GKDS menimbulkan parut di jiwa penderita, tetapi ia masih bisa diperhalus agar tak bertambah parah. Namun, cacatnya tetap akan ada,” katanya.

Dalam hukum pidana, penderita skizofrenia biasanya tidak dihukum. Sementara dalam hukum agama, mereka umumnya dibebaskan dari sejumlah kewajiban agama. Namun, seorang psikopat bisa dijatuhi hukuman.

Kepemimpinan

Prevalensi penderita GKDS di dunia diperkirakan 0,5-1 persen. Sebagian besar di antara mereka justru bukan pembunuh dingin sadis yang ada dalam penjara seperti dalam gambaran film atau novel, melainkan justru aktif di masyarakat dan bekerja dalam berbagai profesi.

Eric Barker dalam Which Professions Have the Most Psychopath? The Fewest? di Time.com, 21 Maret 2014, menyebut tiga profesi yang banyak digeluti penderita GKDS adalah pejabat eksekutif tertinggi (CEO), pengacara, dan pekerja media elektronik.

Prevalensi psikopat pada kelompok pejabat eksekutif tertinggi, yakni empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi di masyarakat umum.

Sejumlah pemimpin dunia pun teridentifikasi sebagai psikopat. Mereka umumnya adalah pemimpin negara yang gemar mengobarkan peperangan, menebar kebencian, hingga membunuh jutaan manusia, termasuk rakyatnya tanpa rasa bersalah.

Contoh paling sering disebut sebagai pemimpin yang psikopat adalah pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Bahkan, psikiater Kanada, Phillip W Long, menyebut Hittler tidak hanya menderita GKDS, tetapi juga paranoid (curiga dan tak percaya orang lain) dan narsistik (mengagungkan diri berlebih).

Sebaliknya, pemimpin yang sering dicontohkan berkebalikan dengan karakter psikopat adalah pemimpin rakyat India, Mahatma Gandhi, tokoh yang sederhana, merakyat, dan pejuang tanpa kekerasan.

”Terkadang agresivitas diperlukan dalam sebuah kepemimpinan,” kata Dinastuti. Penderita GKDS biasanya memesona, penuh daya tarik, luwes, dan mudah memengaruhi orang lain. Karakter itu membuat seorang psikopat biasanya memiliki banyak pengikut dan pengagum.

Saat menjadi pemimpin dan melakukan kesalahan, penderita GKDS mampu menawarkan penjelasan yang seolah-olah masuk akal sehingga ia bisa terlepas dari tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Bawahan atau rakyat yang terpesona pun akan mudah memaafkannya, bahkan terus mengagung- agungkannya.

Namun, rakyat atau bawahan yang terpesona dengan karisma dan kata-kata pemimpin yang menderita GKDS itu akan sulit menumbuhkan motivasi untuk maju. Kepemimpinan pemimpin yang psikopat sulit menciptakan suasana adil dan setara karena semua komando dan kekuasaan ada di tangan pemimpin.

”Pemimpin dengan GKDS tak mau mendengar pendapat berbeda dan akan melakukan apa pun agar orang setuju dengannya,” katanya. Rakyat atau bawahan tak boleh membantah jika tidak ingin menjadi korban agresivitas pemimpinnya.

Kondisi itu membuat tak akan ada persaingan sehat dalam dunia politik karena semua lawan politik akan ditekan, diberi sanksi, bahkan dibasmi oleh sang pemimpin psikopat. (kompas.com)