twitter
rss

Layanan Home Visit

TERAPIS WICARA HOME CARE/VISIT/TERAPI DI RUMAH

Terapi wicara merupakan terapi yang di lakukan untuk merehabilitasi ketidakmampuan fungsi bicara dan menelan agar dapat berkomunikasi dengan...



         
          Sekolah bagi anak dan remaja adalah sebuah rutinitas yang biasa dilakukan sehari-hari layaknya orang dewasa dalam bekerja dan berumahtangga. Namun adakalanya mereka pun merasa jenuh, tidak nyaman karena suatu hal sehingga ingin menghindari sekolah (school refusal) dengan membolos atau yang lebih extrimnya sampai mogok sekolah. Berbagai kasus school refusal yang terjadi ternyata bukan hanya di Indonesia. Angka prevalensi secara internasional adalah 2,4% (Setzer & Salzhauer, 2006). Adapun di Amerika, Setzer & Salzhauer (2006) mengemukakan angka prevalensi sebesar 1,3% pada remaja berusia 1416 tahun dan 4,1%4,7% pada anak berusia 714 tahun. Menurut Kearney (2006), anak usia sekolah dapat disebut mengalami school refusal jika:
(1) ia sama sekali meninggalkan sekolah (absen terusmenerus), atau
(2) ia masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai, atau
(3) ia mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi ke sekolah, misalnya mengamuk (tantrum), atau
(4) ia pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin).
Bagi para orang tua yang anaknya mengalami mogok sekolah tentunya akan panik, bingung atau marah dan tidak tau apa yang harus dilakukan walau awalnya mereka telah membujuk sang anak tetapi tidak berhasil. Sebagai orang tua harus segera mencari penyebab mengapa anaknya tidak mau sekolah.  Anak yang mogok sekolah tentunya disebabkan oleh berbagai macam hal, namun secara  umum  Setzer & Salzhauer (2006) menyebutkan empat alasan untuk menghindari sekolah yaitu:
(1) untuk menghindari objekobjek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distress;
(2) untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik;
(3) untuk mencari perhatian dari significant others di luar sekolah; dan
(4) untuk mengejar kesenangan di luar sekolah.
Anak-anak yang mogok sekolah biasanya tidak masuk sekolah selama beberapa hari atau minggu. Lamanya waktu anak tidak mau masuk sekolah dapat menentukan bentuk tingkatan permasalahannya. Menurut Gelfand & Drew (2003) membagi school refusal menjadi dua subtipe:
(1) Tipe I (tipe akut), tipe ini puncaknya terjadi pada anak sekitar umur 58 tahun. School refusal akut terjadi dalam kurun waktu antara 2 minggu sampai satu tahun. Tipe ini memiliki penyelesaian masalah yang lebih baik dan cepat.   
(2) Tipe II (kronis), yang terjadi selama 2 tahun ajaran atau lebih. Tipe ini puncaknya terjadi pada anak tingkat SLTP atau SLTA dan memperlihatkan kesulitan yang lebih serius. Tipe ini memiliki penyelesaian masalah yang kurang bagus dan agak lama.
Masalah anak yang mogok sekolah tentunya tidak dapat dianggap sepele. Orang tua harus segera mencari penangannnya dengan berkonsultasi ke psikolog dan pihak sekolah guna mencari solusinya. Apabila anak dibiarkan untuk absen dari sekolah, ia justru akan semakin sulit untuk kembali beraktivitas sekolah secara normal (Kearney, 2006).

#Dikutip dari berbagai sumber
(as/VIII/tcap/17)