twitter
rss





Memasuki abad 21, legenda atau paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya tolak ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya (Paisal dan Anggraini, 2010). Menurut   penelitian yang dilakukan Goleman (2005, 2006: 31) menyebutkan pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Sehingga dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang. Dalam perkembangan untuk menciptakan peningkatan kinerja Sumber Daya Manusia yang optimal, dan dalam menyikapi tantangan di abad 21, menurut Prof. Dadang Hawari guru besar dan pakar psikologi UI, kemampuan intelektual (IQ) dan interpersonal (EQ) saja tidaklah cukup, tanpa disertai dengan kemampuan religiusitas (SQ).

Apa itu SQ, EQ dan IQ???
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan kita untuk berahlak mulia dan mengenal siapa diri kita dan Tuhan kita (Agustian, 2001). Jadi SQ bukan hanya kemampuan menjalankan ibadah atau membaca kitab suci semata, tapi bagaimana semua ibadah yang kita laksanakan dapat dimaknai dan diaplikasikan dalam kehidupan kita, artinya bagaimana perilaku kita adalah merupakan cerminan dari ibadah yang telah kita laksanakan. Sehingga kita menjadi manusia yang dicintai oleh Tuhan dan mahluk-Nya. Kecerdasan spiritual juga dicirikan dengan pribadi yang tidak pernah menyukai maksiat dan sejenisnya, memiliki ketenangan jiwa dan batin dalam menghadapi segala persoalan di dunia ini.
Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan. Selain itu kecerdasan emosional juga dicirikan oleh sikap yang mampu menempatkan kapasitas emosi yang pada tempatnya, misalnya apabila di dunia kerja dan terdapat konflik antar bagian, maka orang tersebut tidak akan mudah untuk memihak pada salah satunya, melainkan tetap tenang, arif dan bijak untuk mensikapi dan memahaminya dengan baik dan tetap berusaha untuk menyelesaikan konflik dan dapat memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orang yang memiliki kecerdasan emosi juga cenderung untuk tetap berkawan dan bersahabat dengan orang-orang disekitarnya.

Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kecerdasan intelektual Ialah kemampuan kita untuk mengolah dan berfikir kognitif. Kecerdasan yang terukur dengan angka-angka sejak kita di bangku sekolah hingga kuliah, adalah kecerdasan intelektual. Kecerdasan ini merupakan kemampuan yang diolah pada otak sebelah kiri kita. Kecerdasan intelektual juga dicirikan dengan prestasi belajar, dan akademik yang tinggi. Mampu menyelesaikan pekerjaan rumah atau PR, tugas-tugas kuliah, skripsi dan tesis-tesis juga merupakan bagian dari kecerdasan intelektual.

Bagaimana seharusnya kita mensikapi SQ, EQ, dan IQ tersebut?? Hendaknya setiap orang termasuk kita semua mampu untuk menerapkannya secara seimbang, dan tidak hanya berfokus pada salah satunya, misalya IQ saja. Betapa banyak orang yang IQ nya pas-pasan tapi bisa sukses di dunia bisnis, menjalin relasi dengan siapapun dan menjadi orang kaya, dan menyumbangkan sebahagian kekayaannya untuk fakir miskin, anak yatim dan kaum dhuafa.


(Sumber : dikutip dari ABN/TCAP/XII/15 )



UNTUK DI RENUNGKAN

Seorang ibu berkata pada saya,
"Duuuh..gimana masa depan anak2 kita nanti ya. Sekarang aja udah segini banyak orang. Apalagi di masa depan? Persaingannya lebih gila lagi. Apa anakku bisa berkompetisi?"
Sy tersenyum.
Ibu ini dilimpahi materi berlebih. Sekolah borju, lengkap dengan supir pribadi, tersedia buat anak2nya. Belum lagi aneka les ini itu diberikan ke anak2nya. Mulai les matematika, olahraga, sampai seni. Dan entah apalagi.
Tapi ternyata masih bisa galau juga
Padahal...
Ada yg lebih penting daripada sekedar 'agar bisa berkompetisi'
Yaitu...
Perasaan diterima.
Perasaan dihargai.
Perasaan dicintai.
Perasaan dimengerti.
Perasaan percaya diri.

Inilah yg bisa menyulap seorang Thomas Alva Edison menjadi seorang inventor legendaris.
Inilah yg bisa menyulap seorang Albert Einstein menjadi seorang fisikawan yg mengubah sejarah dunia.
Inilah yg bisa menyulap seorang Leonardo Da Vinci menjadi seorang jenius legendaris yg menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus.
Dan..ini juga yg mampu menyulap seorang Hellen Keller menjadi motivator terbesar dlm sejarah.


Padahal...
Edison dulunya adalah anak yg 'idiot' menurut gurunya. Saking idiotnya, sampai sang guru melarangnya sekolah lagi.
Padahal..
Einstein tadinya adalah anak yg telat bicara. Sulit mengikuti pelajaran sekolah. Mengidap sindrom asperger. Dan 2x gagal lulus sekolah.
Padahal..
Leonardo Da Vinci tadinya adalah anak yg kesulitan membaca dan menulis. Huruf-huruf itu bagaikan menari di matanya.
Padahal..
Hellen Keller adalah anak yang 'masa depannya sudah tamat' karena beberapa cacat yg diidapnya sekaligus: buta, tuli, bisu.

Untunglah anak-anak ini punya orangtua yg penuh cinta dan yakin 100% pada kecerdasan dan kemampuan anaknya. Menerima mereka apa adanya.

Bayangkan bila orangtua mereka sekedar memikirkan "cara anak berkompetisi"?
Dan kemudian kecewa luarbiasa saat menemui anak-anak ini gagal dan gagal lagi di sekolahnya...
Akankah dunia mengenal nama-nama jenius ini kelak?
(IA/FB/XI/TCAP/15)